Sabtu, 27 Oktober 2012

Manusia Kelelawar Bukit Bengkawan

By panesatria | At 05.16 | Label : | 2 Comments
Nama Sanggar Bengkawan mungkin tak asing bagi telinga anda. Tapi nama Gunung Bengkawan mungkin masih sedikit asing. Gunung Bengkawan adalah nama sebuah bukit yang terletak di Kecamatan Jangkang Kabupaten Sanggau.
Bukit Bengkawan hampir setiap hari diselimuti awan. Mungkin itu sebabnya ia disebut Bengkawan. Walaupun menurut Christian Mara seorang seniman Dayak Jangkang, nama sebenarnnya buit tersebut adalah Engkawatn. Lambat laun nama ini kemudian dilafalkan menjadi Bengkawan.
Tidak banyak yang tahu, di bukit Bengkawan terdapat sumber air panas. Anda bisa merebus telur telur di mata air itu. Selain itu Bukit Bengkawan memiliki sebuah sungai yang dipercaya sebagai tempat suci. Para balian (tabib/tabib) mandi dan menyucikan diri di sungai itu. Bukit Bengkawan juga sering dijadikan tempat pertapaan. Seorang pertapa bernama Daut, setelah keluar dari pertapaannya banyak membantu menyembuhkan masyarakat dari berbagai penyakit.
Hal lain yang menarik dari Bukit Bengkawan adalah kisah tentang Lubang Dawi. Kisah bermula dari dua kakak beradik yang bernama Dawi dan Dakie. Mereka berdua tinggal dikampung Tayu atau yang sekarang dikenal dengan nama Jangkang.
Dawi dan Dakie sama-sama mencintai seorang gadis. Keduanya lalu terlibat persaingan. Sebagai seorang kakak Dawi merasa takut tersaingi oleh adiknya Dakie. Dawi kemudain mencari akal untuk menyingkirkan Dakie.
Ia membawa adiknya pergi ke bukit Engkawatn untuk mencai nyoyupm (kelelawar) di sebuah gua. Dengan berbekal lampu minyak, Dakie mendapat tugas masuk ke dalam gua dengan dibekali oleh tali. Karena memang berniat untuk membunuh Dakie, Dawi kemudian memutuskan tali yang dibawa oleh Dakie.
Akibatnya Dakie tidak bisa keluar dari gua. Ia mulai hilang kendali dan mulai gelisah bagaimana cara untuk keluar dari lubang gua itu. Berhari-hari ia mencari jalan keluar namun tidak ketemu.
Hari demi hari dilaluinya sampailah bertahun-tahun ia berada di dalam gua itu dalam kesendiriannya. Dakie kemudian mencoba berkomunikasi dengan makhluk-makhluk di sekitarnya. Mahluk-mahluk tersebut mulai jinak dan mereka mulai berteman akrab.
Dakie kemudian meminta bantuan para makhluk-makhluk itu untuk keluar dari lubang gua. Mereka membuat lubang baru. dengan menggali tanah siang dan malam. Usaha ini terus dilakukan hingga lubang tersebut menembus ke lumbung padi sebuah keluarga suatu kampung bernama Romun di wilayah Sarawak Malaysia.
Dakie mulai keluar dari lubang gua dan senang dapat melihat kembali kondisi matahari. Namun ia ketakutan saat seorang gadis mendekati lumbung untuk mengambil padi tempat ia sembunyi. Dakie tidak menyadari dirinya telah berubah dengan kulit berwarna putih pucat karena bertahun-tahun tidak pernah terkena sinar matahari. Selain itu mukanya lebih mirip monyet karena telah dipenuhi janggut.
Saat bertemu dengan Dawie gadis yang mengambil padi terkejut ketakutan. Ia berlari tunggang langgang memanggil seluruh orang kampung Romun untuk melihat apa yang terjadi di lumbung padinya.
Orang kampung berkumpul disana dan menangkap Dakie. Mereka memutuskan untuk membunuh Dakie karena ia berbeda dan aneh dari manusia lainnya. Dengan ketakutan Dawie menyimak pembicaraan mereka. Karena ada kesamaan bahasa, Dakie mulai berani bicara dengan menyatakan dirinya berasal dari kampung Jangkang yang ada di wilayah Indonesia. Karena ia mulai bicara dan menceritakan kisah demi kisah yang dialaminya selama masih di Jangkang.
Dengan haru warga kampung Romun menyimak cerita yang menyedihkan itu dan mulai saat itu ia diangkat menjadi warga kampung Romun secara resmi. Sejak kejadian itu ia dihormati warga kampung. Dakie bahkan dinikahkan dengan gadis yang ditemuinya di lumbung padi.
Hari demi hari berganti hingga tahun pun berganti. Dakie ingin kambali ke kampung halamannya untuk menemui Dawi abangnya. Dawi tidak lagi mengenal Dakie. Dawi mengganggapnya lebih sebagai kawan bisnis karena Dakie mengajaknya berbisnis madu.
Mereka berdua kemudain pergi ke hutan mencari pohon tapang (pohon yang dihinggapi lebah untuk bersarang). Dawi kemudian memanjat setelah membuat tapak-tapak dari bambu sampai pada puncak pohon. Setelah Dawi naik ke atas, Dakie memotong dan melepaskan tangga-tangga tadi sehingga Dawi tidak bisa turun. Dakie dibawah berteriak dengan keras mengatakan dirinya adalah Dakie adik yang pernah hendak dibunuhnya di dalam lubang gua kelelawar dulu.
Dawi terkejut dan ketakutan. Ia sadar pernah hendak membunuh adiknya Dakie di lubang kelelawar. Kemudian Dakie menyuruh Dawi turun. Karena tidak tahu bagaimana cara turun, Dakie menyuruh Dawi untuk menggunakan cawatnya. Usai memberikan petujuk Dakie kemudian pulang ke kampung.
Dawi sendiri dengan cepat melepaskan tali cawatnya untuk diikatkan kepinggang mengelilingi pohon Tapang. Karena ukuran cawatnya yang kecil, Dawi tidak bisa sampai ke bawah. Akibatnya ia jatuh dan mati.
Setelah kematiannya Dakie kembali ke Romun kampung isterinya. Karena kejahatan Dawi, orang Romun benci terhadap Dawi dan keturunannya. Hingga sekarang bila ada orang Jangkang pergi ke kampung Romun Malaysia pasti ditanya dulu apakah orang Jangkang Dawi atau Jangkang Dakie. Bila yang datang dari keturunan Jangkang Dawi maka tidak akan mendapat pelayanan sama sekali. Namun bila dari Jangkang Dakie maka ia sangat istimewa dilayani orang Romun dan dihormati keberadaannya. Sementara lubang gua yang berada di bukit Engkawatn itu sampai saat ini tetap ada dan dikenal dengan nama Lubang Dawi.

Jumat, 19 Oktober 2012

Hukum Adat Dayak Dalam Perjanjian Tumbang Anoi VI

By panesatria | At 19.01 | Label : | 0 Comments
PERJANJIAN TUMBANG ANOI
“ADAT DAYAK”
"96 PASAL HUKUM ADAT TUMBANG ANOI"
Pasal  87 s/d 96


Pasal 87
Singer Karusak Pahewan, Karamat, Rutas dan Tajahan (denda adat kerusakan)
Penjelasan:
Barang siapa merusak pahewan, karamat, tajahan atau petak rutas yaitu tempat-tempat yang sudah dianggap mempunyai makan tertentu dalam kepercayaan atau harapan seperti tersebut diatas, akan dikenakan hukuman denda berdasarkan pasal ini. Menurut pola pandangan leluhur, bahwa manusia harus berlaku sopan-santun, juga terhadap unsur-unsur roh gaib yang tak nampak itu yang mana roh gain tersebut telah diatur agar bermukim ditempat-tempat tertentu. Kalau mereka diganggu, berarti akan merusak kelestarian lingkungan.
Sanksi:
Jika seorang atau beberapa orang yang mengejek atau membakar, menebas, menebang pohon disitu atau mencuri barang dari rumah disana (keramat), akan dituntut hukuman sebesar 15-30 kati ramu untuk waris atau untuk kampung yang paling dekat tempat itu dilaksanakan sama dengan pasal 49.

Pasal 88
Singer Naranjur Kulae (denda adat kambaen/ mengecewakan pengharapan teman)
Penjelasan:
A dan B sudah sepakat akan sama-sama berangkat mencari ikan atau berburu binatang dan berusaha. Pada waktu berangkat, tiba-tiba si B tidak jadi berangkat tetapi disuruhnya C sebagai penggantinya. Langsung A merasa kecewa karena hal demikian tersebut terjadil;ah kambaen B, jalannya perburuan akan menjadi sial/tidak mendapat hasil.
Sebagai tumbalnya (palis), si B harus memberi rambutnya, potongan kuku dan pakaian serba sedikit, diberikan kepada A dan C yang kan berangkat berburu atau berusaha.

Pasal 89
Singer Takian Pulau Bua Helu/Kaleka (perkara merebut kebun buah-buahan warisan)
Penjelasan:
Si A memelihara kebun buah-buahan yang ditanam oleh beberapa generasi yang lalu, sejalan dengan riwayat turunan anak cucu, pada umumnya semua mempunyai hak warisan dengan hasil buah tersebut. Biasanya orang yang merawatnya atau yang paling dekatlah yang paling tahu silsilah para pewarisnya, tetapi tidak menutup kemungkinan dia berusaha menanam pohon-pohon baru disekitarnya untuk mengelabui atau menggelapkan kebun warisan orang banyak. Tidak jarang pula pihak-pihak B ikut untuk meluruskan hal yang sebenarnya dengan pihak C, untuk membawa keterangan dan berambisi yang berbeda sehingga terjadilah suatu kasus yang berbelit-belit.
Pelaksanaan:
Kasus demikian sangat menuntut kemampuan para mantir adat dan pemangku adat.  Diperlukan hasil komisi yang teliti, penyaksian yang luas. Sifat dan ambisi serta latar belakang yang berperkara, serta pendapat umum setempat sebagai bahan mantir dan pemangku adat untuk mempertimbangkan.

Pasal 90
Perkara Takian Holang Tana, Bahu, Kabun (perkara perselisihan batas ladang, kebun, dan bekas berladang dan bekas berkebun)
Penjelasan:
Perselisihan tata batas perwatasan, bekas ladang, bekas kebun merupakan hal yang rutin dibicarakan di lingkungan masyarakat adat. Walaupun biasa kadang-kadang menjadi persoalan/ permasalahan yang cukup rumit. Masalah pinggir sungai yang erosi, bahagian lain pinggir sungai yang bertambah, tanda batas yang tidak jelas, dan keterangan yang tidak lengkap, kesemuanya menjadi rumit persoalannya. Dua orang berselisish tata batas diperlukan bahan-bahan pendahuluan bagi para hakim adat.
Pelaksanaan:
Berita acara komisi di lapangan dan situasi lapangan, keterangan orang yang berbatasan langsung, keterangan para saksi masing-masing pihak dan pendapatumum setempat dan keterangan mereka yang berselisihan. Semuanya menjadi bahan para pemangku adat untuk mempertimbangkan keputusannya, jika perlu dipakai sistem padu atau menenung dengan sistem sumpah acara adat warisan. Dan biasanya selalu ditutup dengan pesta makan bersama, jika perkara itu sudah dapat didamaikan dengan keputusan dalam sidang adat itu.

Pasal 91
Perkara Takian Bahu Waris (perkara selisish pembagian ladang warisan)
Penjelasan:
Pembagian warisan dari sebuah rumah tangga suami-istri biasa disebut barang rupa tangan milik bersama suami-istri dengan hak yang sama. Secara umum, jika mereka resmi bercerai atas kehendak berdua, kecuali jika mereka ada anak (seberapa anaknya dibagi rata). Pada umumnya pula, jika seorang tua membagi harta kekayaannya baik harta di dalam maupun harta di luar rumah digunakan untuk:
·         Cadangan untuk tiwah (dua orang laki/istri)
·         Cadangan hari tua dan biaya kematian/penguburan
·         Selain itu, hartanya ditata dibagi sama untuk semua anak
Inilah pedoman umum keadatan warisan.
Pedoman pelaksanaan:
·         Mempelajari riwayat harta warisanyang disengketakan
·         Anak yang mana tempat yang terakhir sang pemilik harta
·         Daftar inventaris harta benda keseluruhan
·         Bagaimana penyelesaian jenasah, penguburan dan pelayanan tulang-belulang almarhum berdua
·         Daftar pewaris yang berhak dan apa, serta siapa yang menerimanya.
Inilah yang menjadi pedoman pelaksanaan bagi para pemangku adat dan jika perlu ditunjang dengan sistem sumpah secara adat.

Pasal 92
Hadat Panggul, Sapindang, Tatas lauk, Rintis Pantung, Tanggiran Sungai dan Danau (adat-istiadat mengenai macam-macam hak panggul, sapindang, tatas handel, tatas ikan, rintis jalutung, tanggiran, sungai dan danau)
Penjelasan:
Pada mulanya sejak jaman purbakala, segala macam hak dan kewajibvan, semuanya ditata, diurus, serta ditanggulangi dengan adat istiadat. Kemudian sejalan dengan perkembangan jaman dan jangkauan lembaga pemerintah daerah dengan ragam peraturan daerahnya, sehingga beban dan kewenangan lembaga adat kademangan semakin ringan dalam bidang fisik, materi, tetapi yang bertambah dibidang beban sikap moral. Adat-istiadat yang yang masih hidup dalam masyarakat perihal tersebut diatas dalam hal ragam usaha rakyat sambil mencari relevansnya dengan peraturan yang berlaku.
Penanggulangan:
Bagi para pemangku adat, dalam hal menanggulangi perselisihan atau perkara yang terjadi sepanjang apa yang tersebut di atas, tetap berprinsip pada hal sebagai berikut:
·         Riwayat materi yang disengketakan, komisi lapangan, keterangan pihak yang terdekat, tekanan pada hak pendahulu
·         Kadaluwarsaan dan keterangan para saksi, pendapat umum setempat, sumpah adat dan pesta perdamaian adat tetap menjadi mekanis, sistimatika pengusutan dan penutupan.

Pasal 93
Hadat Sapan Pahuni (adat mengenai kepahunan)
Penjelasan:
Latar belakang adat kebiasaan ini, apa yang disebut apa yang disebut kapahunan atau pahuni bertolak dari pola pandangan tiga besar indera tubuh yaitu pendengaran, penglihatan, dan perasaan, mewakili  bereng, hambaruan, dan salumpuk (badan, jiwa dan roh). Justru itu, jika ada orang lain, dengan suaranya mengajak makan yang sudah tersedia, wajiblah dirasa walaupun dengan sentuhan fisik untuk menjangkau kepahunan suatu persyaratan alamiah yang bersifat pribadi.
Sanksi:
Adat kebiasaan ini akhirnya membudaya, menumbuhkan anggapan jika tidak dipenuhi tuntutan pra syarat tersebut diatas, maka terancamlah tubuh ini oleh musibah (luka, jatuh sakit, sial dan lain-lain) yang bisa mengakibatkan fatal. Lebih-lebih jika terhadap darah binatang korban, walaupun tidak sempat ikut makan dagingnya, asal sempat menyentuh darahnya, sudah cukup menjadi penangkal sumpah kepahunan (palis pahuni). Dalil lain dasar pandangan ini, bahwa tubuh kita yang tunggal terdiri dari tiga satuan unsur yang terpadu yaitu tubuh, jiwa dan roh.

Pasal 94
Hadat Hasapa/Hasumpah (adat mengenai sumpah)
Penjelasan:
Adapun latar nelakang adat warisan ini berpangkal dari pola pandangan hidup para leluhur, bahwa makhluk manusia ini sejak awal sudah dibekali dengan pesan-pesan sang Ranying (Tuhan Yang Maha Esa) untuk memiliki kemampuan menjadi pengurus lingkungan hidup di dalam dunia ini yang meliputi lima unsur: flora, fauna, manusia, arwah dan roh gaib. Dengan demikian, sistimatika apa yang disebut dalam bahasa daerah ‘belom bahadat’ termasuk hadat hasumpah, hasapa.
Pelaksanaan:
Dalam suatu acara khusus, sarana pimpinan seorang pisur (tukang tawur) sebagai menghidupkan fisik beras, diperintahkan menjemput beberapa roh gaib tertentu dan ilah-ilah tertentu pula, diundang, diperintahkan hadir serta berkarya sesuai tujuan acara khusus tersebut.
Kewibawaan:
Acara hasapa/hasumpah sedemikian itu hanya boleh dilakukan dalam suasana yang serius demi menegakkan nilai kebenaran terhadap perbuatan manusia yang sangat relatif. Dengan mekanisme itu, bukan wibawa manusia yang dipertaruhkan, akan tetapi wibawa tuhan yang dilibatkan.
Sistem padu, nenung ngundik (sistem meramal dengan daya roh gaib)
Sistem ini caranya lebih sederhana dan resikonya agak ringan serta tidak mengancam jiwa orang yang berbohong dalam memberi keterangan atau kesaksian dalam suatu sidang adat.
Juga, melalui tukang tawur yang memerintahkan roh beras untuk menjemput supaya roh gaib tertentu agar aktif berkarya melalui jari tangan orang yang berselisih dengan memilih, meraba (pisih) di dalam pasu yang berisi air dan sudsah dicirikan di muka umum (mirip permainan anak-anak).
Atau kedua orang yang berselisish, diberikan sedikit beras ketan yang sudah dibacakan doa untuk kemudian dikunyah, kemudian diludahkan diatas dulang yang mirip dimana cairannya yang kental mengalir menjadi pertanda benar atau salahnya keterangan seseorang.
Dapat pula masing-masing diberi kesempatan mendirikan sebutir telur ayam yang sudah dibaca diatas batang sumpitan yang sudah dilumuri minyak kelapa. Pihak yang salah selalu tidak mampu berdiri dan sebaliknya pihak yang benar akan mudah mendirikan telur diatas batang sumpitan tadi. Memang aneh, tapi nyata, karena unsur gaib ikut berkarya.

Pasal 95
Adat Eka Malan-Manana, Satiar Bausaha (adat tempat berladang dan tempat berusaha)
Penjelasan:
Latar belakang pemikiran leluhur, cenderung pada umumnya memilih lokai permukimandisekitar muara sungai sebab tanahnya agak subur, juga kemungkinan peranan sungai menjadi sarana jalan masuk hutan yang praktis dan memberi kemudahan tempat berusaha dan bercocok tanam serta untuk berburu. Sejak purbakala, sejangkau bunyi/suara pikulan gong yang menjadi satu-satunya alat pemancar bunyi yang nyaring untuk memanggil warga kampung yang sedang berusaha jika ada keperluan yang mendadak di kampung. Dalam radius kurang lebih 5 km keliling kampung (kiri dan kanan) sungai tempat permukiman penduduk dijadikan wilayah tempat bercocok tanam, berladang, berburu, dan berusaha secara turun-tenurun, membudaya mengakar  menjadi adat kebiasaan yang tidak mudah dibasuh (secara awam, itulah apa yang dimaksud dengan hak ulayat adat).
Berkaitan dengan perobahan jalan, tentunya membawa ragam peralihan suasana membawa ragam peralihan suasana termasuk pula mempengaruhi pola pandangan yang semakin meluas sekaligus menuntut kemampuan masyarakat nusantara berpikir secara nasional, bertindak lokal dan yang wajar.
Sikap mewarisi nilai-nilai tradisional bukan seperti kita menarik mundur, tetapi menggali nilai-nilai positif untuk memperkokoh daya tekan terhadap nilai budaya yang negatif/asing yang melanda kebersamaan dengan ragam ilmu pengetahuan modern yang kita undang-undangkan dan perlukan.
Berhadapan antara perundang-undangan di satu pihak dan ragam adat-istiadat, kejelian kita diperlukan untuk menata, menggali relevansi yang berujud peraturan setempat dengan sebijak mungkin. Bukan untuk dipertentangkan tetapi untuk menjade renungan.
Menyangkut tempat berladang dan bertani serta lapangan berusaha, mutlak, karena menyangkut perut dan nafas hidup masyarakat adat rakyat Kalimantan pada umumnya dan ini tidak terlepas dari sasaran pembangunan yang sedang kita gumuli bersama.
Dalam rangka itu, dihimbau, jika kita memperhatikan UU Pokok Agraria, UU Kehutanan, dibanding dengan kebiasaan (adat) masyarakat Dayak Ngaju, terutama di daerah pedalaman yang pada umumnya masih makan hasil hutan, memang tidak mudah menyesuaikan diri dengan pola kehidupan modern seperti yang dimaksudkan oleh peraturan perundang-undangan tersebut. Lapisan bawah belum siap atau belum dipersiapkan berkenaan dengan pelaksanaan HPH, hak ulayat adat dan status desa permukiman. Bukan bermaksud mengubah UU tapi peraturan pelaksanaannya agar diperlunak bagi rakyat kecil. Damikian pula problema keagrariaan yang dalam proses pertelaan, para pemangku adat tidak diikutsertakan. Semoga dapat ditinjau kembali dalam peraturan pelaksanaannya di lapangan, untuk kelancaran bagi tujuan UU Pokok Agraria itu di daerah Kalimantan Tengah.

Pasal 96
Kasukup Singer Belom Bahadat (kelengkapan denda adat hidup kesopanan, beretika, bermoral yang tinggi)
Penjelasan:
Adapun ungkapan belom bahada adalah ungkapan yang lebih dominan bagi setiap orang suku Dayak Ngaju pada umumnya. Dapat dikatakan bahwa ungkapan ini merupakan kunci positif nilai kepribadian tradisional warisan asli daerah, warisan turun-temurun yang meliputi ruanmg lingkup peri hidup dan kehidupan serta kemanusiaan dalam arti fisik, mental dan spiritual. Sifat dan hakekat norma hukum adat ini, tidak hanya meliputi tata krama antar manusia saja, tetapi mencakup unsur flora, fauna, manusia, para arwah, roh gaib, dimana kedudukan manusia tampil sebagai pengurus lingkungan hidup dengan mekanisme tata krama belom bahadat (tata kesopanan yang menyeluruh), sopan terhadap unsur yang tampak maupun yang tidak tampak.
Pelaksanaan:
Segala bentuk peristiwa tidak terlepas dari hukum sebab-akibat, penyebabnya senantiasa dicari di dalam atau di sekitar lingkungan hidup sendiri. Tumbalnya serta kelestariannya pun harus mampu diurus oleh manusia. Segala bentuk pelanggaran atau pencemaran lingkungan hidup yang tidak termuat dalam pasal-pasal norma adat ini akan dipatutkan oleh tokoh pemangku adat setempat guna mencapai keserasian, kelestarian dan keseimbangan alam, lingkungan hidup lahir-batin.***

*Dari Kumpulan Tulisan Yather Nathan Ilon* berjudul Belom Bahadat. Yather Nathan Ilon, Damang Kepala Adat Kec. Basarang dan Kuala Kapuas sejak 1974-…… Ditulis ulang dengan sedikit perbaikantata bahasa oleh Andriani S. Kusni.
Catatan Tambahan:
1 kati ramu sekarang nilainya sama dengan Rp 100.000,-
 
Sumber Ceritadayak.com

Lomba Melukis Canvas PGD 2012 Pontianak

By panesatria | At 18.54 | Label : | 0 Comments

 
Jawara Tahun Ini


Posting Lama ►
 

Blogroll

Blogger news

Blogger templates

Copyright © 2012. dayaksite.co.cc - All Rights Reserved B-Seo Versi 5 by Bamz