PERJANJIAN TUMBANG ANOI
“ADAT DAYAK”
"96 PASAL HUKUM ADAT TUMBANG ANOI"
Pasal 87 s/d 96
Pasal 87
Singer Karusak Pahewan, Karamat, Rutas dan Tajahan (denda adat kerusakan)
Penjelasan:
Barang
siapa merusak pahewan, karamat, tajahan atau petak rutas yaitu
tempat-tempat yang sudah dianggap mempunyai makan tertentu dalam
kepercayaan atau harapan seperti tersebut diatas, akan dikenakan hukuman
denda berdasarkan pasal ini. Menurut pola pandangan leluhur, bahwa
manusia harus berlaku sopan-santun, juga terhadap unsur-unsur roh gaib
yang tak nampak itu yang mana roh gain tersebut telah diatur agar
bermukim ditempat-tempat tertentu. Kalau mereka diganggu, berarti akan
merusak kelestarian lingkungan.
Sanksi:
Jika
seorang atau beberapa orang yang mengejek atau membakar, menebas,
menebang pohon disitu atau mencuri barang dari rumah disana (keramat),
akan dituntut hukuman sebesar 15-30 kati ramu untuk waris atau untuk
kampung yang paling dekat tempat itu dilaksanakan sama dengan pasal 49.
Pasal 88
Singer Naranjur Kulae (denda adat kambaen/ mengecewakan pengharapan teman)
Penjelasan:
A
dan B sudah sepakat akan sama-sama berangkat mencari ikan atau berburu
binatang dan berusaha. Pada waktu berangkat, tiba-tiba si B tidak jadi
berangkat tetapi disuruhnya C sebagai penggantinya. Langsung A merasa
kecewa karena hal demikian tersebut terjadil;ah kambaen B, jalannya
perburuan akan menjadi sial/tidak mendapat hasil.
Sebagai
tumbalnya (palis), si B harus memberi rambutnya, potongan kuku dan
pakaian serba sedikit, diberikan kepada A dan C yang kan berangkat
berburu atau berusaha.
Pasal 89
Singer Takian Pulau Bua Helu/Kaleka (perkara merebut kebun buah-buahan warisan)
Penjelasan:
Si
A memelihara kebun buah-buahan yang ditanam oleh beberapa generasi yang
lalu, sejalan dengan riwayat turunan anak cucu, pada umumnya semua
mempunyai hak warisan dengan hasil buah tersebut. Biasanya orang yang
merawatnya atau yang paling dekatlah yang paling tahu silsilah para
pewarisnya, tetapi tidak menutup kemungkinan dia berusaha menanam
pohon-pohon baru disekitarnya untuk mengelabui atau menggelapkan kebun
warisan orang banyak. Tidak jarang pula pihak-pihak B ikut untuk
meluruskan hal yang sebenarnya dengan pihak C, untuk membawa keterangan
dan berambisi yang berbeda sehingga terjadilah suatu kasus yang
berbelit-belit.
Pelaksanaan:
Kasus
demikian sangat menuntut kemampuan para mantir adat dan pemangku adat.
Diperlukan hasil komisi yang teliti, penyaksian yang luas. Sifat dan
ambisi serta latar belakang yang berperkara, serta pendapat umum
setempat sebagai bahan mantir dan pemangku adat untuk mempertimbangkan.
Pasal 90
Perkara Takian Holang Tana, Bahu, Kabun (perkara perselisihan batas ladang, kebun, dan bekas berladang dan bekas berkebun)
Penjelasan:
Perselisihan
tata batas perwatasan, bekas ladang, bekas kebun merupakan hal yang
rutin dibicarakan di lingkungan masyarakat adat. Walaupun biasa
kadang-kadang menjadi persoalan/ permasalahan yang cukup rumit. Masalah
pinggir sungai yang erosi, bahagian lain pinggir sungai yang bertambah,
tanda batas yang tidak jelas, dan keterangan yang tidak lengkap,
kesemuanya menjadi rumit persoalannya. Dua orang berselisish tata batas
diperlukan bahan-bahan pendahuluan bagi para hakim adat.
Pelaksanaan:
Berita
acara komisi di lapangan dan situasi lapangan, keterangan orang yang
berbatasan langsung, keterangan para saksi masing-masing pihak dan
pendapatumum setempat dan keterangan mereka yang berselisihan. Semuanya
menjadi bahan para pemangku adat untuk mempertimbangkan keputusannya,
jika perlu dipakai sistem padu atau menenung dengan sistem sumpah acara
adat warisan. Dan biasanya selalu ditutup dengan pesta makan bersama,
jika perkara itu sudah dapat didamaikan dengan keputusan dalam sidang
adat itu.
Pasal 91
Perkara Takian Bahu Waris (perkara selisish pembagian ladang warisan)
Penjelasan:
Pembagian
warisan dari sebuah rumah tangga suami-istri biasa disebut barang rupa
tangan milik bersama suami-istri dengan hak yang sama. Secara umum, jika
mereka resmi bercerai atas kehendak berdua, kecuali jika mereka ada
anak (seberapa anaknya dibagi rata). Pada umumnya pula, jika seorang tua
membagi harta kekayaannya baik harta di dalam maupun harta di luar
rumah digunakan untuk:
· Cadangan untuk tiwah (dua orang laki/istri)
· Cadangan hari tua dan biaya kematian/penguburan
· Selain itu, hartanya ditata dibagi sama untuk semua anak
Inilah pedoman umum keadatan warisan.
Pedoman pelaksanaan:
· Mempelajari riwayat harta warisanyang disengketakan
· Anak yang mana tempat yang terakhir sang pemilik harta
· Daftar inventaris harta benda keseluruhan
· Bagaimana penyelesaian jenasah, penguburan dan pelayanan tulang-belulang almarhum berdua
· Daftar pewaris yang berhak dan apa, serta siapa yang menerimanya.
Inilah yang menjadi pedoman pelaksanaan bagi para pemangku adat dan jika perlu ditunjang dengan sistem sumpah secara adat.
Pasal 92
Hadat
Panggul, Sapindang, Tatas lauk, Rintis Pantung, Tanggiran Sungai dan
Danau (adat-istiadat mengenai macam-macam hak panggul, sapindang, tatas
handel, tatas ikan, rintis jalutung, tanggiran, sungai dan danau)
Penjelasan:
Pada
mulanya sejak jaman purbakala, segala macam hak dan kewajibvan,
semuanya ditata, diurus, serta ditanggulangi dengan adat istiadat.
Kemudian sejalan dengan perkembangan jaman dan jangkauan lembaga
pemerintah daerah dengan ragam peraturan daerahnya, sehingga beban dan
kewenangan lembaga adat kademangan semakin ringan dalam bidang fisik,
materi, tetapi yang bertambah dibidang beban sikap moral. Adat-istiadat
yang yang masih hidup dalam masyarakat perihal tersebut diatas dalam hal
ragam usaha rakyat sambil mencari relevansnya dengan peraturan yang
berlaku.
Penanggulangan:
Bagi
para pemangku adat, dalam hal menanggulangi perselisihan atau perkara
yang terjadi sepanjang apa yang tersebut di atas, tetap berprinsip pada
hal sebagai berikut:
· Riwayat materi yang disengketakan, komisi lapangan, keterangan pihak yang terdekat, tekanan pada hak pendahulu
· Kadaluwarsaan
dan keterangan para saksi, pendapat umum setempat, sumpah adat dan
pesta perdamaian adat tetap menjadi mekanis, sistimatika pengusutan dan
penutupan.
Pasal 93
Hadat Sapan Pahuni (adat mengenai kepahunan)
Penjelasan:
Latar
belakang adat kebiasaan ini, apa yang disebut apa yang disebut
kapahunan atau pahuni bertolak dari pola pandangan tiga besar indera
tubuh yaitu pendengaran, penglihatan, dan perasaan, mewakili bereng,
hambaruan, dan salumpuk (badan, jiwa dan roh). Justru itu, jika ada
orang lain, dengan suaranya mengajak makan yang sudah tersedia, wajiblah
dirasa walaupun dengan sentuhan fisik untuk menjangkau kepahunan suatu
persyaratan alamiah yang bersifat pribadi.
Sanksi:
Adat
kebiasaan ini akhirnya membudaya, menumbuhkan anggapan jika tidak
dipenuhi tuntutan pra syarat tersebut diatas, maka terancamlah tubuh ini
oleh musibah (luka, jatuh sakit, sial dan lain-lain) yang bisa
mengakibatkan fatal. Lebih-lebih jika terhadap darah binatang korban,
walaupun tidak sempat ikut makan dagingnya, asal sempat menyentuh
darahnya, sudah cukup menjadi penangkal sumpah kepahunan (palis pahuni).
Dalil lain dasar pandangan ini, bahwa tubuh kita yang tunggal terdiri
dari tiga satuan unsur yang terpadu yaitu tubuh, jiwa dan roh.
Pasal 94
Hadat Hasapa/Hasumpah (adat mengenai sumpah)
Penjelasan:
Adapun
latar nelakang adat warisan ini berpangkal dari pola pandangan hidup
para leluhur, bahwa makhluk manusia ini sejak awal sudah dibekali dengan
pesan-pesan sang Ranying (Tuhan Yang Maha Esa) untuk memiliki kemampuan
menjadi pengurus lingkungan hidup di dalam dunia ini yang meliputi lima
unsur: flora, fauna, manusia, arwah dan roh gaib. Dengan demikian,
sistimatika apa yang disebut dalam bahasa daerah ‘belom bahadat’
termasuk hadat hasumpah, hasapa.
Pelaksanaan:
Dalam
suatu acara khusus, sarana pimpinan seorang pisur (tukang tawur)
sebagai menghidupkan fisik beras, diperintahkan menjemput beberapa roh
gaib tertentu dan ilah-ilah tertentu pula, diundang, diperintahkan hadir
serta berkarya sesuai tujuan acara khusus tersebut.
Kewibawaan:
Acara
hasapa/hasumpah sedemikian itu hanya boleh dilakukan dalam suasana yang
serius demi menegakkan nilai kebenaran terhadap perbuatan manusia yang
sangat relatif. Dengan mekanisme itu, bukan wibawa manusia yang
dipertaruhkan, akan tetapi wibawa tuhan yang dilibatkan.
Sistem padu, nenung ngundik (sistem meramal dengan daya roh gaib)
Sistem
ini caranya lebih sederhana dan resikonya agak ringan serta tidak
mengancam jiwa orang yang berbohong dalam memberi keterangan atau
kesaksian dalam suatu sidang adat.
Juga,
melalui tukang tawur yang memerintahkan roh beras untuk menjemput
supaya roh gaib tertentu agar aktif berkarya melalui jari tangan orang
yang berselisih dengan memilih, meraba (pisih) di dalam pasu yang berisi
air dan sudsah dicirikan di muka umum (mirip permainan anak-anak).
Atau
kedua orang yang berselisish, diberikan sedikit beras ketan yang sudah
dibacakan doa untuk kemudian dikunyah, kemudian diludahkan diatas dulang
yang mirip dimana cairannya yang kental mengalir menjadi pertanda benar
atau salahnya keterangan seseorang.
Dapat
pula masing-masing diberi kesempatan mendirikan sebutir telur ayam yang
sudah dibaca diatas batang sumpitan yang sudah dilumuri minyak kelapa.
Pihak yang salah selalu tidak mampu berdiri dan sebaliknya pihak yang
benar akan mudah mendirikan telur diatas batang sumpitan tadi. Memang
aneh, tapi nyata, karena unsur gaib ikut berkarya.
Pasal 95
Adat Eka Malan-Manana, Satiar Bausaha (adat tempat berladang dan tempat berusaha)
Penjelasan:
Latar
belakang pemikiran leluhur, cenderung pada umumnya memilih lokai
permukimandisekitar muara sungai sebab tanahnya agak subur, juga
kemungkinan peranan sungai menjadi sarana jalan masuk hutan yang praktis
dan memberi kemudahan tempat berusaha dan bercocok tanam serta untuk
berburu. Sejak purbakala, sejangkau bunyi/suara pikulan gong yang
menjadi satu-satunya alat pemancar bunyi yang nyaring untuk memanggil
warga kampung yang sedang berusaha jika ada keperluan yang mendadak di
kampung. Dalam radius kurang lebih 5 km keliling kampung (kiri dan
kanan) sungai tempat permukiman penduduk dijadikan wilayah tempat
bercocok tanam, berladang, berburu, dan berusaha secara turun-tenurun,
membudaya mengakar menjadi adat kebiasaan yang tidak mudah dibasuh
(secara awam, itulah apa yang dimaksud dengan hak ulayat adat).
Berkaitan
dengan perobahan jalan, tentunya membawa ragam peralihan suasana
membawa ragam peralihan suasana termasuk pula mempengaruhi pola
pandangan yang semakin meluas sekaligus menuntut kemampuan masyarakat
nusantara berpikir secara nasional, bertindak lokal dan yang wajar.
Sikap
mewarisi nilai-nilai tradisional bukan seperti kita menarik mundur,
tetapi menggali nilai-nilai positif untuk memperkokoh daya tekan
terhadap nilai budaya yang negatif/asing yang melanda kebersamaan dengan
ragam ilmu pengetahuan modern yang kita undang-undangkan dan perlukan.
Berhadapan
antara perundang-undangan di satu pihak dan ragam adat-istiadat,
kejelian kita diperlukan untuk menata, menggali relevansi yang berujud
peraturan setempat dengan sebijak mungkin. Bukan untuk dipertentangkan
tetapi untuk menjade renungan.
Menyangkut
tempat berladang dan bertani serta lapangan berusaha, mutlak, karena
menyangkut perut dan nafas hidup masyarakat adat rakyat Kalimantan pada
umumnya dan ini tidak terlepas dari sasaran pembangunan yang sedang kita
gumuli bersama.
Dalam
rangka itu, dihimbau, jika kita memperhatikan UU Pokok Agraria, UU
Kehutanan, dibanding dengan kebiasaan (adat) masyarakat Dayak Ngaju,
terutama di daerah pedalaman yang pada umumnya masih makan hasil hutan,
memang tidak mudah menyesuaikan diri dengan pola kehidupan modern
seperti yang dimaksudkan oleh peraturan perundang-undangan tersebut.
Lapisan bawah belum siap atau belum dipersiapkan berkenaan dengan
pelaksanaan HPH, hak ulayat adat dan status desa permukiman. Bukan
bermaksud mengubah UU tapi peraturan pelaksanaannya agar diperlunak bagi
rakyat kecil. Damikian pula problema keagrariaan yang dalam proses
pertelaan, para pemangku adat tidak diikutsertakan. Semoga dapat
ditinjau kembali dalam peraturan pelaksanaannya di lapangan, untuk
kelancaran bagi tujuan UU Pokok Agraria itu di daerah Kalimantan Tengah.
Pasal 96
Kasukup Singer Belom Bahadat (kelengkapan denda adat hidup kesopanan, beretika, bermoral yang tinggi)
Penjelasan:
Adapun
ungkapan belom bahada adalah ungkapan yang lebih dominan bagi setiap
orang suku Dayak Ngaju pada umumnya. Dapat dikatakan bahwa ungkapan ini
merupakan kunci positif nilai kepribadian tradisional warisan asli
daerah, warisan turun-temurun yang meliputi ruanmg lingkup peri hidup
dan kehidupan serta kemanusiaan dalam arti fisik, mental dan spiritual.
Sifat dan hakekat norma hukum adat ini, tidak hanya meliputi tata krama
antar manusia saja, tetapi mencakup unsur flora, fauna, manusia, para
arwah, roh gaib, dimana kedudukan manusia tampil sebagai pengurus
lingkungan hidup dengan mekanisme tata krama belom bahadat (tata
kesopanan yang menyeluruh), sopan terhadap unsur yang tampak maupun yang
tidak tampak.
Pelaksanaan:
Segala
bentuk peristiwa tidak terlepas dari hukum sebab-akibat, penyebabnya
senantiasa dicari di dalam atau di sekitar lingkungan hidup sendiri.
Tumbalnya serta kelestariannya pun harus mampu diurus oleh manusia.
Segala bentuk pelanggaran atau pencemaran lingkungan hidup yang tidak
termuat dalam pasal-pasal norma adat ini akan dipatutkan oleh tokoh
pemangku adat setempat guna mencapai keserasian, kelestarian dan
keseimbangan alam, lingkungan hidup lahir-batin.***
*Dari
Kumpulan Tulisan Yather Nathan Ilon* berjudul Belom Bahadat. Yather
Nathan Ilon, Damang Kepala Adat Kec. Basarang dan Kuala Kapuas sejak
1974-…… Ditulis ulang dengan sedikit perbaikantata bahasa oleh Andriani
S. Kusni.
Catatan Tambahan:
1 kati ramu sekarang nilainya sama dengan Rp 100.000,-
Sumber Ceritadayak.com
0 komentar:
Posting Komentar